Rabu, 21 Oktober 2009

ISTANA GEBANG



Cerita mengenai akan dijualnya rumah Bung Karno masa kecil "Istana Gebang" di Blitar, yang menjadi salah satu Benda Cagar Budaya, oleh ahli waris Bung Karno menghiasi beberapa media elektronik dan media cetak beberapa waktu yang lalu.

Expose yang besar-besaran ini bagi sebagian pihak merupakan berita yang mengejutkan karena melihat sisi faktor sejarah yang tak ternilai yang terkandung dalam "Ndalem Gebang" kalau sampai jatuh ke tangan asing, tetapi sebagian yang lain terutama yang sudah lama bergelut dengan seluk beluk percagarbudayaan mungkin ini menjadi berita yang biasa-biasa saja kalau tidak mau dikatakan sudah sangat biasa.

Pemerintah Kota Blitar memang bereaksi untuk mempertahankan dengan berusaha untuk membeli agar "Ndalem Gebang" tidak jatuh ke tangan investor asing, konon kabarnya berita yang beredar ada pengusaha Malaysia sudah meliriknya, (karena hal inilah yang menjadikan pemerintah daerah bereaksi, mungkin ceritanya akan menjadi lain kalau diketahui yang ingin mengambil alih adalah pengusaha pribumi).

Demikian juga dengan reaksi Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga yang menggandeng beberapa artis mencoba menggalang simpati dan dana untuk mempertahankan asset tak ternilai itu. Kita memang selalu reaktif terhadap keberadaan Benda Cagar Budaya ketika menjadi sebuah kasus atau peristiwa, tetapi tidak pernah preventif apalagi responsive ketika Benda Cagar Budaya tidak mengundang berita.

Suadah berapa banyak "Benda Cagar Budaya" yang hanya menjadi berita ketika sudah berganti kepemilikan. Hanya untuk Benda Cagar Budaya yang telah muncul dan mendunia seperti Borobudur, Prambanan, atau situs Sangiran atau yang lain yang terekam dalam ingatan pemerintah.

Kalau kita mau menengok sebentar beberapa ‘kasus' ketidakberdayaan Benda Cagar Budaya ketika terbentur dengar kepentingan yang bersifat lebih ekonomis. Belum hilang dalam benak kita beberapa waktu yang lalu, bagaimana nasionalisme kita bergolak tatkala mendadak sontak lagu "Rasa Sayange" dan "Reog" diakui Malaysia sebagai cikal bakal budaya yang berasal dari negeri jiran tersebut.

Muncul demonstrasi-demontrasi yang mengatasnamakan rakyat yang peduli budaya ke Kedubes Malaysia untuk mencabut pengakuan tersebut. Sebelumnya dengan tutupnya Museum Adam Malik yang tidak terekspose di media, tergusurnya beberapa lokasi situs bersejarah untuk kepentingan ekonomis dan tak kalah heboh adalah hilangnya beberapa koleksi di Museum Radyo Pustaka di Solo, seakan menambah deretan tragedi yang harus diterima oleh keberadaan Benda Cagar Budaya di Indonesia. Melihat dari peristiwa beberapa tahun ke belakang, simpati dan dukungan yang bersifat parsial dan sedikit emosional seperti yang dilakukan oleh Pemkot Blitar dan Menegpora untuk ‘Istana Gebang" hanya akan menjadi obat sesaat dan tidak akan menjadi solusi bagi masalah Benda Cagar Budaya lain di seluruh Indonesia. Padahal yang diperlukan untuk penanganan Bencana Cagar Budaya adalah sebuah konsep pelestarian Benda Cagar Budaya berkesinambungan dan melibatkan banyak pihak. Dan celakanya konsep itu masuk katagori yang secara materi ekonomis tidak akan mendatangkan keuntungan.

Tetapi kalau tidak dimulai oleh pemerintah daerah maupun pusat dari sekarang, maka hanya dalam hitungan belasan tahun akan tambah deretan pengelola Benda Cagar Budaya akan antre untuk mengambil nomor untuk tutup atau mengibarkan bendera putih dan ujung-ujungnya hanya investor asinglah yang merasa berkepentingan untuk berinvestasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar